Selasa, 14 Agustus 2012

DREAM OF UTOPIA: Maiden of Tears (Sammy Balladrom - 2008)

Data Buku:
Penerbit: Diwanteen
Editor: F Assegaf & Achmad Rifki
Setting & Layout: mps creativa
Sampul: Faisal Rangga
Tebal: 565 halaman.

Mimpi, adalah langkah pertama seorang manusia memasuki dunia fantasi. Ga berlebihan anggapan itu, mengingat di situlah gerbang pertama kita menyadari bahwa ada 'dunia' lain di balik dunia yang kita kenal. Dan di 'dunia' itulah kita mulai mengalami sebuah dunia yang tanpa batas wilayah, tak berbatas ruang dan waktu, di mana kita bisa menjelajah tanpa halangan, satu-satunya pembatas hanyalah ketika tiba waktu pagi :)

Mimpi, adalah Fantasy dalam bentuk yang paling dikenal oleh umat manusia.

Tak heran, bahwa banyak kisah Fantasy yang lekat dengan dunia mimpi. Mungkin cerita Fantasy paling awal yang saya kenal yang terkait mimpi ini adalah kisah Alice in Wonderland. Dan tentunya, masih banyak kisah Fantasy yang punya hubungan lekat dengan mimpi. Dan seluas dunia mimpi itu sendiri, kupikir apa yang bisa digali dari dalamnya sebagai bahan pembuatan cerita Fantasy bisa dianggap tak terbatas, seluas imajinasi manusia.

Dream of Utopia, sebuah novel perdana dari pengarang yang baru lulus SMA, Sammy Balladrom, termasuk salah satu yang menggali dunia mimpi ini secara kreatif.

Tersebutlah Alvernod Wolfric, dipanggil Verno, seorang remaja di kota Magestone, USA, yang mendapatkan sebuah tawaran aneh, untuk bergabung dengan dunia mimpi Dream Utopia, dimana setiap anggotanya bisa keluar dari mimpi mereka yang semu, dan masuk ke dalam mimpi yang nyata (maksudnya realistik). Di Dream Utopia, mereka dapat mengalami sebuah dunia alternatif yang memukau, alam yang amat berbeda, Elfa, Animala, Planta, dan kekuatan-kekuatan sihir. Setiap kali mereka tidur di alam nyata, akan terbangun di Dream Utopia. Dan sebaliknya, bila tidur di Dream Utopia, akan terbangun di Dunia nyata. Dan bonusnya, tubuh tetap segar seperti biasa. Dan advantage-nya, di dunia Dream Utopia, kamu akan tetap mengingat segala hal yang terjadi baik di dunia nyata maupun di Dream Utopia, sementara disadvantage-nya, di dunia nyata kamu akan melupakan apa yang terjadi di Dream Utopia (Now, why would somebody want to have that, beats me! Apa gunanya bermimpi indah kalo gak bisa mengingatnya?).

Ini premis yang sangat menarik, dan easily sangat workable untuk dikembangkan dalam sebuah novel. Gini dong, bikin ide, gak usah susah-susah, gak usah grande-grande-an, sederhana tapi langsung bisa nge-gas. Berkahnya, penulis bisa lebih concern mikirin aspek kepenulisan untuk membuat ceritanya menjadi lebih memikat pembaca.

Membaca Dream of Utopia, saya sungguh terkesan. Pengarang memiliki kemampuan bertutur yang lancar dan terang, dengan balancing yang pas antara action, narasi dan dialog. Pengarang memang memilih setting non Indonesia, dengan alasan yang hanya diketahuinya sendiri mengapa. Tapi penerapan setting non-lokal (dalam hal ini nuansa negeri paman Sam) berhasil diterapkan secara baik dan natural. Kalo saya bilang bahwa kesannya persis seperti membaca novel terjemahan dari pengarang luar nagri, jangan buru-buru anggap itu sebagai komplimen, karena buat saya bisa nulis kayak orang bule itu nggak terlalu membanggakan. Menjadi komplimen ketika saya merasakan tulisan Sammy lancar tanpa memaksa, sekalipun bersetting bukan Indonesia. Artinya pengarang sudah melakukan balancing yang amat baik untuk menjaga agar tulisannya dinikmati secara konsisten dan koheren. Ada banyak karya tulis lokal yang secara aneh memposisikan orang Amerika seperti berpikir dan bertindak secara Indonesiawi (kalau orang indonesia berpikir dan bertindak secara Amerikawi, itu udah gak aneh lagi sekarang, hehehe). Rasanya style menulis pengarang sudah bebas dari kesalahan-kesalahan gegar budaya, seperti penulisan dialog "Dong, Deh" dan semacamnya dalam setting yg supposedly non-Indonesia, dan juga berhasil membuat bahasa percakapan dalam dialog menjadi tak terlampau kaku atau 'maksa'.

Hanya ada sedikit banget kesalahan, yang hanya mungkin dipersoalkan oleh mulut-mulut cerewet macem gue punya, hehehe. Misalnya penyebutan Mrs. untuk tokoh-tokoh gadis yg masih pada remaja (kudengar cukup lazim untuk kesopanan? tapi karena konteksnya disini penyebutan kepada mereka selaku siswi, mustinya yg lebih tepat adalah Miss). Kemudian nama Verno, dipanggil singkat sebagai "Ver,.." koq rada aneh untuk orang Amerika. Mustinya sebagaimana nama Dalton yang dipanggil "Dalt,", Verno juga lebih cocok dipanggil, "Vern,"

Selebihnya, cukup perfect. Dan kelebihan lain yang saya rasakan adalah keberhasilan Sammy untuk membuat "page turner", alias novel yang membuat kita mampu membaca terus dan gak terasa membalik halaman demi halaman. Membaca Dream of Utopia, sekilas terasa bagaikan membaca Harry Potter, dan ITU adalah sebuah komplimen!

Proficiat juga untuk dunia fantasi yang diciptakan oleh Pengarang. Benar-benar dunia yang dipenuhi imajinasi. Dunia Dream Utopia adalah bagaikan dunia dongeng, dan pengarang berhasil menggambarkan itu melalui deskripsi yang amat kaya, melibatkan warna-warna, bentuk-bentuk fantasi, hewan fantasi, sampai dengan konsep fantastik (misalnya rumah pohon raksasa Yggdrasil yang terdiri dari ribuan kamar). Begitu mudah dibayangkan oleh pembaca, sekaligus rasanya begitu mudah divisualisasikan secara indah oleh seorang ilustrator kompeten. Dan yang penting, saya merasakan bahwa semua khayalan itu memang hadir pada tempatnya, tidak terasa seperti mengada-ada atau tempelan (biasanya terasa demikian apabila sistem logikanya kedodoran).

Mari saya ambilin contoh:

Terbentang luas hamparan rumput hijau kebiruan--hamparan rumput di dalam sebuah pohon raksasa--memantulkan sinar matahari dari embun-embun yang menggantung di ujung rumput. Bunga peony, chrysanthemum, hyacinth, hydrangea biru dan merah jambu, jasmine, anggrek, ros, melati, dahlia, kamboja, dan berbagai bunga liar menjalar menguasai seluruh bebatuan dan pilar-pilar menjulang--seolah menunjukkan keanggunan luar biasa yang mereka miliki. Patung-patung berbentuk animala dan elfa tersusun rapi mengelilingi lingkaran tengah pohon.

Sebuah kolam besar terlihat tak jauh dari hadapan mereka, dikelilingi oleh tujuh kolam segitiga yang lebih kecil, airnya sebening kristal, serta memunculkan pelangi lengkung sempurna di atasnya. Puluhan ikan melompat dari dalamnya, ikut menghirup udara segar yang ada--menyapa mereka dengan kombinasi warna bagai lukisan seorang maestro. Beberapa Elfa berpakaian gaun mengkilap bermain berpasangan, membentangkan sayap-sayapnya yang mungil, melayang menyenangkan di atas permukaan rumput. Kelinci dan tupai berjalan kesana-kemari, melompat dengan riang. Lapangan rumput ini dikelilingi pilar-pilar cokelat, membentuk lingkaran pohon yang tingginya entah berapa lantai. Pohon raksasa ini terlihat bagai tabung berongga. Di kiri-kanan terlihat lorong lebar--sebenarnya membantuk lorong lingkaran--berlantaikan marmer, campuran warna coklat dan peach.

(suasana di dalam Yggdrasil, hal. 158-159)


Masih banyak yg lebih bagus dari ini, cuma saya males ngetikin semuanya, hehehe,.. mendingan baca aja bukunya sendiri. Dan rasanya ini novel layak baca, kalaupun sekedar cuma ingin menikmati penggambaran dunia Dream Utopianya aja! Wisata Fantasi, adalah salah satu elemen daya tarik yang hanya ada di genre Fantasy. Pengarang cukup pandai untuk memanfaatkannya semaksimal yang ia bisa.

Hal lain yang patut dipuji dengan dua jari jempol adalah kreativitas Pengarang dalam memberi nama-nama, terutama nama-nama property dalam dunia Dream Utopia-nya. Pengarang mampu memadu-padankan istilah-istlah bahasa Inggris menjadi suatu nama baru yang tetap konsisten dengan konsep baru yang dinamainya itu. Penamaan ini memberi excitement tersendiri dalam konteks fantasy, serta memunculkan definisi khas yang langsung lekat dalam imajinasi pembaca. Lihat beberapa contoh berikut ini:

Eleafator: magic lift yang terbuat dari anyaman daun
Aerosnake: Ular raksasa bersayap, bisa terbang, sering dipakai sebagai sarana transportasi udara
Elfiend: Elf yang berasal dari Dark Utopia, musuh Elfa
Dolphant: Animala persilangan Dolphin dan Elephant, berbentuk lumba-lumba yang memiliki gading, dipakai sebagai sarana transportasi air.

Pengarang juga memiliki sistem sihir yang cukup solid, disebutnya sebagai Natural Arts yang terdiri dari:

Hydromancy
Pyromancy
Aeromancy
Psychomancy

Tentunya masing-masing terkait dengan elemen yang diwakilinya: Air, Api, Angin, Jiwa.

Pendeknya, untuk buku yang satu ini, pengarang tampak sudah mempersiapkan Universenya secara lengkap dan detail, satu hal yang sangat saya puji untuk sebuah karya literasi Fantasy.

Selain setting yang unik dan komprehensif, jangan lupakan karakter-karakternya. Untuk karakter ini menurut saya sudah cukup standar dan bagus. Ada Verno si tokoh utama, Marsha yang juga menjadi lead role, Claire yang cerdas, Fantasia (Fan) yang artis penyanyi terkenal, dan masih banyak tokoh lain manusia maupun Elfa yang tampil cukup sesuai porsi masing-masing, membentuk susunan cast yang cukup menghidupkan cerita. Miriplah dengan tipikal tokoh-tokoh ala Harry Potter, sekalipun mungkin dalam hal karakterisasi masih kalah matang. Untungnya, hal ini masih bisa dikejar dan dikembangkan dalam novel sekuel. Setting yang solid akan sangat memudahkan hal ini.

Lantas apa yang bisa saya utarakan sebagai masukan?

Well, sebagai sebuah karya perdana, rasanya terlalu too good to be true, ya, kalo gak ada kelemahan? Hehehe,... menurut saya sih ada sedikit kelemahan yang bukan bersumber dari kemampuan pengarang dalam menulis atau berfantasi.

Di bagian-bagian awal, tempo cerita terasa enak melaju, dengan actions yang cukup memikat walaupun latar belakangnya kurang dijelaskan. Tak apa, sebab pembaca sadar bahwa cerita masih baru mulai. Memasuki bab Ujian ke Dream Utopia (masuk dunia mimpi rupanya harus diuji dulu), plot tambah memikat. Walaupun logika saya sempat berkali-kali terchallenge, berkali-kali pula saya menegasikannya, memaklumkannya semata karena emang lagi enak ngikutin ceritanya aja. Apalagi saat masuk dunia Dream Utopia secara utuh, wuah, saya sampai terkagum-kagum. Kira-kira sampai pertengahan buku setebal 500-an halaman ini.

Pas sampai pertengahan,.... (biasa, syndrom buku tebal!), mulai terasa slowing down. Aspek penceritaan tetap bagus, sih, cuma sebagai pembaca saya mulai bertanya-tanya. Ada cukup banyak pertanyaan yang saya ucapkan, antara lain (1) apa sih tujuan dari plot-plot ini? (2) mengapa rasanya mulai 'aneh', (3) saat fokus-fokus mulai bergeser pada konflik dan masalah, saya jadi check back dan memperhatikan kembali apa yang sudah terjadi dan apa arah pengarang selanjutnya.

Bukan salah pengarang sepenuhnya. Biasalah dalam suatu novel, pembaca akan disuguhi hal-hal memukau di bagian depan, sebelum kemudian mulai masuk ke inti permasalahan. Setelah hal-hal ajaib di awal mulai terasa biasa-biasa aja, otomatis otak saya akan mencari-cari masalah. "Trus ngapain, neh?" begitu kali, jika si otak bisa ngomong. Akibatnya, otak mulai menguraikan segala anomali yang dirasakannya. Saya harus berulang kali mengingatkan otak saya bahwa ini dunia mimpi, anomali itu dimungkinkan oleh logika cerita. Tapi dasar otak, teteup aja ngotot.

Beberapa hal ditanyakannya,

"Aneh deh, ngapain untuk masuk Dream Utopia aja pakai tes-tes yang segitu aneh? Udah gitu, apa relevansi tes-tes itu kemudian?"

"Dream Utopia ini ada yang ngatur (merintah), ya? Dan pemerintahnya itu ternyata tukang 'tipu'! Ternyata mereka ngerekrut anak-anak itu cuma untuk dijadikan pasukan melawan Dark Utopia. Kalo gue jadi orang tua murid di Yuna, gue udah bikin petisi, tuh."

"Dream Utopia sudah berusia 20.000 tahun lebih, dan ADA yang menciptakan!! Koq ngga hal itu ngga terefleksikan dalam cerita secara memuaskan?"

"Anak-anak ini di dunia nyata udah sekolah, eh di Dream Utopia SEKOLAH LAGI! Sekolah untuk mempertahankan diri, katanya. Lhah, kenapa gue harus mau masuk dalam dunia mimpi yang sama bahayanya dengan dunia nyata? udah gitu SEKOLAH! Boy I hate that word!" (Harap maklum, otak saya memang membenci sekolah, semata berdasarkan pengalamannya selama sembilan belas tahun di sistem pendidikan RI. Well, dia memang nggak bisa disalahkan, hehe).

"Kalo orang mati di Dream utopia, di dunia nyata dia mati juga gak ya?"

Terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas, saya hanya nyengir aja menanggapinya.

"Untuk apa orang 'hidup' di Dream Utopia?"

Tek, untuk yg satu ini, terpaksa saya tercenung.

Well, mungkin di titik itulah ide saya dengan ide Sammy Balladrom gak ketemu. Saya orangnya terlalu serius, sehingga nggak bisa menemukan apa point terpenting dari all the fuss about this dream world, apabila segala alasan dan segala konflik mengenainya tidak terjelaskan secara memuaskan. Saya tahu, kadang Fantasi tidak selalu membutuhkan penjelasan. Tapi sebagai pembaca, saya paling malas kalau masih ada ruang-ruang kosong di kepala saya.

Ada orang bikin sebuah dunia mimpi Dream Utopia dua puluh ribu tahun yang lalu, untuk motivasi yang belum dijelaskan, dan lantas ada dunia lawan berupa Dark Utopia, yang mati-matian berusaha menerobos portal ke Dream Utopia untuk maksud yang juga kurang jelas. Bahwa Dark Utopia juga dianggap the bad guys, okelah. Tapi penjahat di dunia nyata aja ada alasannya kenapa jadi penjahat. Kemudian selama ini Dream Utopians merekrut warga Magestone melalui surat bersampul hijau itu, kenapa? Masih menjadi pertanyaan menggantung.

Gara-gara pertanyaan tersebut, upaya saya menikmati setengah buku ke belakang terus terang menjadi terganggu. Bukan salah pengarang, tapi salah saya sendiri. Gara-gara itu, konflik utama novel mengenai usaha para Guardiana mengantar Maiden of Tear ke Havarma Coast menempuh kesulitan (yg rasanya merupakan semacam ujian juga, karena sebetulnya mereka bisa lewat jalur lain yang lebih nyaman) guna menutup Portal, menjadi perjalanan yang tak terlampau menarik lagi bagi saya. Itulah jeleknya otak saya. Ketika masalah utamanya belum diaddress secara memuaskan, otak saya langsung menegasikan hal-hal lain sebagai sekedar tempelan belaka.

Padahal, apabila saya membaca tanpa prasangka apapun, jalinan cerita tetap merupakan kisah memukau yang sulit dicari tandingannya. Dream Utopia menetapkan siapa Maiden of Tear yang ke tiga belas, kemudian melakukan ujian (lagi) untuk mendapatkan Guardiana, kemudian Maiden of Tear dan Guardiana menempuh perjalanan berbahaya, memasuki alam Dream Utopia yang semakin ajaib, memecahkan berbagai persoalan, sampai akhirnya showdown melawan pasukan Dark Utopia di portal Havarma Coast. Padahal ada Treetop Lodge, padahal ada Lake of Undine (yang demikian imajinatif), padahal ada paduan suara Fan dan Syrenia yang memukau (sayang menyanyinya pakai bahasa Elfa yang kurang meyakinkan. Kalo dibikin pakai bahasa Inggris dengan makna yang pas, kurasa akan jauh lebih menggetarkan!), adegan klimaksnya juga terasa a wee bit keburu-buru, padahal ini sebuah kisah seru, sebetulnya :)

Jadi, kesimpulannya sebagai masukan saya: kalau pengarang berkenan memuaskan otak saya, please kembangkan sebagian plot untuk memperjelas misteri mengenai Dream Utopia yang belum tersingkap ini. Kenapa semua hal menjadi seperti sekarang. Tapi kalo gak berkenan, ya ga apa-apa juga, sih. You already have a great story :)

Sebagai penutup, saya mo kritik dua hal yang kurasa bukan porsinya Pengarang, tapi porsinya Penerbit.

Pertama mengenai sampul, yang kurasa sangat tidak do justice terhadap naskah top notch-nya pengarang ini. Ilustrasi sampul berupa gambar kepala cowok yang tiduran di rumput sambil menutup matanya. My God maksudnya apa? Ekspresi anak itu seperti anak bule yang lagi mikir "Cilaka, gue lupa ngerjain PR Mrs. Easton,", atau mungkin ekspresi si bintang basket yang lagi nyaris pingsan dan mimisan akibat kehantam bola basket di kepala. Nggak banget!! Font judul terlalu tipis dan kurang kontras (warna hijau keemasan di atas latar belakang warna hijau), sehingga ngga langsung terbaca di antara deretan buku di rak pajang. Cover belakang berisi sinopsis kepanjangan yang ditulis dengan huruf berfont ukuran 6 point, kali. Nggak kebaca di mata gue yang udah plus-minus-silindris ini!

Jangan salahkan pengarang, bila penjualan buku kurang menggembirakan. Itu akibat dari bad cover design!


Pokoknya, desain cover Dream of Utopia ini bener-bener merusak jurus "Judge by the Cover" gue, karena pertama kali ngelihat, jujur gue ngerasa ni buku 'murahan' banget, pasti ceritanya norak. Dan amboi ketika saya salah 100 persen, maka kesalahanku itu aku timpakan back-to-back pada desainer sampulnya! He he he,... (sorry ya mas ilustrator, saya tahu pemilihan gambar sampul bukan semata-mata ada di Anda, koq).

(Kalau saya ditanya ilustrasi apa yang pas buat sampul buku ini? Jawaban saya udah pasti: Gambar Pohon Yggdrasil, yang dilukis oleh ilustrator Fantasy yang kompeten.)

Yang Kedua, adalah mengenai Judul: Dream of Utopia.

Pertama baca judul itu di rak pajang, saya sempat mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang janggal. Kupikir-pikir lagi makna kata-kata itu menjadi, "Memimpikan (suatu) Utopia", tapi mustinya inggrisnya adalah Dreaming of an Utopia. Atau mungkin "Mimpinya si Utopia", koq masih aneh ya? Ah! Pokoknya itu terasa seperti Bahasa Inggris yang 'salah', aja.

Lantas di dalam bukunya, pengarang secara konsisten dan benar selalu menuliskan Dream Utopia, bersanding dengan Dark Utopia, atau Orientation Utopia, which is kuanggap benar karena masing-masing jelas menyebutkannya sebagai suatu nama tempat yang memiliki properti sifat-sifat tertentu.

Dan belakangan, aku dapat statement dari pengarang bahwa judul aslinya memang Dream Utopia, tapi kemudian 'curiously' disampul tercetak Dream of Utopia dengan sub judul: Maiden of Tears (Di halaman dalam aja masih tercetak judul original, Dream Utopia (Perjalanan di Dunia Mimpi)).

Aku nggak tahu kenapa dan darimana sang Penerbit punya ide se-misleading itu, tapi dugaan sementaraku saat ini adalah bahwa ini merupakan usaha para Agen Dark Utopia yang sedang menjalankan misi mencegah buku Dream Utopia laris di kalangan penggemar Fantasy (halah!)

Well, demikian aja kritiknya. Sedikit, khan? Kurasa dengan segala kelebihan dan pesona yang dimilikinya, nggak berlebihan bila untuk saat ini, Dream of Utopia karya Sammy Balladrom aku nobatkan sebagai The Best Fantasy in my List, menggeser posisi Ledgard, untuk sementara.


So, untuk Sammy, selamat datang penulis Fantasy baru Indonesia! You have a great work! Lanjutannya kami tunggu.

Untuk temen-temen penggemar Fantasy, kurasa tidak salah kalau aku rekomendasikan buku ini untuk dibaca. Layak beli, juga lah. Please support para pengarang potensial dengan membeli bukunya, jangan minjem atau nge-ebook. Biar gimanapun, kalo ga ada profit, ga mungkin bisa terbit kisah lanjutannya, dan kita juga yang rugi. He he he,...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar